MAKALAH PERKEMBANGAN ULUMUL AL-QUR’AN DARI ZAMAN UTSMAN BIN AFFAN SAMPAI ZAMAN HARI INI
PERKEMBANGAN ULUMUL AL-QUR’AN DARI
ZAMAN UTSMAN BIN AFFAN SAMPAI ZAMAN HARI INI
DISUSUN
OLEH:
NAMA: MAYALIANA
Perkembangan Ulumul Al-Qur’an Dari
Zaman Utsman Bin Affan Sampai Zaman Hari Ini
Sepeninggal Umar bin
Kat}tab, jabatan kekhalifahan dipegang oleh Usman bin ‘Affan sebagai khalifah
ketiga. Pada masa ini dunia Islam mengalami banyak perkembangan, apa yang
terjadi pada masa Abu Bakar juga tidak lagi ditemui pada masa ini. Banyak
penghafal al-Qur’an ditugaskan ke
berbagai wilayah untuk menjadi imam sekaligus mengajarkan al-Qur’an sesuai
daerahnya masing-masing. Dalam proses penyebarannya, masing-masing sahabat
memiliki versi qira’at yang beragam, berlainan satu sama lain. Bahkan Hudzaifah
Ibn al-Yaman yang ikut dalam pembukaan Armenia dan Azerbaijan, ketika itu ia
mendengar bacaan al-Qur’an penduduk setempat yang berbeda satu sama lain,
bahkan saling membenarkan versi qira’at masing-masing, sehingga menimbulkan
pertikaian sesama umat. Melihat hal ini Huz}aifah berkata kepada Usman, “Wahai
amirul mu’minin! Satukanlah umat ini sebelum mereka berselisih dalam al-Qur’an
seperti perselisihan Yahudi dan Nasrani”.
Dari peristiwa inilah
kemudian Utsman berinisiatif untuk menyalin kembali al-Qur’an, tepatnya akhir tahun
ke-24 H dan awal ke-25 H dengan menunjuk 12 orang termasuk Zaid bin Tsabit
(sebagai ketua), Abdullah bin Zubair, Said ibn al-Ash, dan Abdurrahman ibn
al-Harits ibn Hisyam. Kodifikasi ini dilakukan sebagaimana pada masa Abu Bakar.
Akan tetapi kodifikasi al-Qur’an pada masa Utsman bukan karena keberadaan
al-Qur’an yang masih tercecer, melainkan menyalin mushaf dalam rangka untuk
menyeragamkan bacaan. Upaya ini diawali dengan Upaya ini diawali dengan
menyalin mushaf Abu Bakar yang dijaga oleh Hafshah ke dalam beberapa mushaf.
Sebelum tim kodifikasi bekerja sesuai tugasnya masing-masing, Utsman memberikan
pengarahan kepada tim agar:
a.
Berpedoman kepada bacaan mereka yang
hafal al-Qur’an dengan baik dan benar.
b.
Bila ada perbedaan pendapat tentang
bacaan yang digunakan, maka haruslah dituliskan menurut dialek Quraisy, sebab
al-Qur’an diturunkan menurut dialek mereka.
Setelah penyalinan
al-Qur’an selesai dikerjakan, maka lembaranlembaran al-Qur’an yang dipinjam
dari Hafshah dikembalikan kepadanya. Adapun al-Qur’an yang telah dibukukan itu
dinamai “al-Mushaf ”. Dari penggandaan tersebut, mushaf di gandakan sebanyak 5
buah, 4 buah diantaranya dikirim ke berbagai wilayah yakni Mekkah, Syam
(Syiria), Basrah dan kuffah, agar ditempat-tempat tersebut disalin pula dengan
mushaf yang sama. Sementara satu buah mushaf, ditinggalkan di Madinah untuk
Usman sendiri dan yang terakhir inilah yang disebut “Mushaf al-Imam”. Setelah
itu, Usman memerintahkan untuk mengumpulkan semua lembaran-lembaran al-Qur’an
yang ditulis sebelum pembakuan dan mushaf- mushaf lain yang tidak sesuai untuk
dibakar. Hal ini dilakukan untuk mencegah pertikaian dikalangan umat.
Kodifikasi periode
Usman ini dilakukan dengan sangat cermat dan teliti. Hal ini terlihat pada
pengambilan lafadz-lafadz yang diriwayatkan secara mutawatir dan
mengesampingkan riwayat secara ahad. Menyingkirkan lafal yang di nasakh
(dihapus) dan lafadz yang diragukan. Penyusunan al-Qur’an dilakukan dengan
sistematika al-Qur’an sesuai dengan susunan surah dan ayat sebagaimana terlihat
saat ini. Sebelum menetapkan dan menuliskan lafadz yang disepakati, tim
kodifikasi menghimpun dan merundingkan semua gaya bacaan (qira’at) yang dikenal
oleh para sahabat, dan jika tetap terjadi perselisihan maka dipilihlah qira’ah
Quraish. Selain itu, tim juga menyisihkan segala sesuatu yang bukan al-Qur’an,
misalnya catatan-catatan kaki yang yang ditulis oleh para sahabat sebagai
penjelasan atas suatu bagian al-Qur’an, penjelasan tentang nasikh dan mansukh.
Semenjak saat itu
sejarah mencatat, hasil kodifikasi Usman bin ‘Affan cukup efektif untuk dapat
mengikat persatuan umat Islam dalam ranah standarisasi teks al-Qur’an.
Setidaknya masa Usman ini menjadi kodifikasi terakhir umat Islam dalam
penyatuan bacaan. Artinya setelah fase ini tidak ada lagi pembukuan atau
standarisasi berikutnya. Pengumpulan al-Qur’an masa Usman ini disebut dengan
pengumpulan/ pembukuan ketiga setelah masa Abu Bakar. Adapun masa pemberlakuan
mushaf Usmani di kalangan umat Islam terjeda rentang waktu yang cukup lama,
yakni hingga masa kekhalifahan Abdul Malik bin Marwan.
Dari penyalinan mushaf
masa Usman ini, maka kaum muslimin diseluruh pelosok menyalinnya dengan bentuk
yang sama. Sementara model dan metode tulisan yang digunakan didalam mushaf
Usman ini kemudian dikenal dengan sebutan “Rasm Usmani”. Dengan demikian, maka penulisan al-Qur’an di
masa Usman memiliki manfaat besar, diantaranya:
a.
Menyatukan kaum muslimin pada satu macam
mushaf yang seragam ejaan tulisannya.
b.
Menyatukan bacaan, walaupun masih ada
kelainan bacaan, tetapi setidaknya bacaan itu tidak berlawanan dengan ejaan
mushaf-mushaf Usman. Sedangkan ejaan yang tidak sesuai dengan ejaan mushaf
Usman, tidak diperbolehkan penggunaannya.
c.
Menyatukan tertib susunan surat-surat
menurut urutan seperti yang terlihat pada mushaf- mushaf sekarang.[1]
Pada tahun 1436 M (840
H), sejarah baru bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban dimulai. Hal
ini ditandai dengan penemuan mesin cetak oleh Johannes Guttenberg (1397-1468
M).[35] Menurut data tervalid, buku pertama yang dicetak dengan mesin ditemukan
di Eropa sekitar tahun 1440-1450 M. Buku ini ditulis dengan huruf latin.
Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1456 ditemukan mesin yang sama di
Roma, tahun 1470 di Paris, tahun 1471 di Barcelona, dan pada tahun 1474 di
Inggris.
Menurut Yahya Mahmud
Junaid, setidaknya ada 3 percetakan di Eropa yang pertama kali mencetak
al-Qur’an:
1.
Pertama, percetakan di Venesia (ada juga
yang mengatakan di Roma) pada kisaran 1499-1538 M. Mengenai siapa yang memimpin
pencetakan ini masih diperdebatkan. Salah satu naskahnya ditemukan oleh Angela
Novo di perpustakaan pendeta Dir Francesconi di Venesia. Cetakan ini kemudian
dimusnahkan atas perintah Paus saat itu karena ditemukan banyak kesalahan di
dalamnya.
2.
Kedua, percetakan di Hamburg pada tahun
1694. Proyek ini dipimpin oleh Ebrahami Hincklmani, seorang orientalis
Protestan. Tujuannya bukan untuk menyebarkan al-Qur’an di kalangan Protestan,
tapi untuk mempelajari bahasa Arab dan Islam. Cetakan ini terdiri dari 560
halaman, setiap halaman memuat 17-19 baris. Dicetak dengan huruf-huruf terpisah
menggunakan tinta hitam pekat di atas kertas Eropa abad ke-17 M. Sayangnya
ditemukan banyak sekali kesalahan dalam cetakan ini, baik berupa huruf yang
hilang/tertukar tempatnya ataupun perubahan kata. Sebagian naskah cetakan ini
tercatat masih tersimpan di Perpustakaan Kitab Mesir (Dâr al-Kutub
al-Mishriyyah) dan perpustakaan universitas King Saud, Riyadh.
3.
Ketiga, percetakan di Batavia pada tahun
1698. Cetakan ini terdiri dari teks al-Qur’an, terjemah dan komentarnya. Versi
ini disusun oleh Ludvico Lucersi Marracei, seorang pendeta dari Italia. Jenis
huruf yang dipakai lebih bagus dari dua cetakan sebelumnya.
Pada tahun 1874 muncul
cetakan khusus untuk al-Qur’an di kota Lepzig atas prakarsa Flügel. Meski
cetakan ini menjadi rujukan bangsa Eropa, namun masih ditemukan banyak
kesalahan dalam cetakan ini. Selanjutnya bermunculan cetakan-cetakan di Timur
Tengah dan India. Cetakan Iran muncul pertama kali di Teheran (1828 M) dan di
Tabriz (1833 M). Cetakan di India muncul pada 1887 M. Sayangnya cetakan-cetakan
itu masih menggunakan rasm imla’i (scriptio plena), bukan rasm Utsmani (textus
receptus). Di Indonesia sendiri, manuskrip mushaf tertua ditulis oleh seorang
ulama al-faqih al-shalih ‘Afifudin Abdul Baqi bin ‘Abdullah al-‘Adni, bertahun
1585 M di Wapanwe, Kaitetu. Di Pegunungan Wawane, Ambon juga ditemukan mushaf
yang ditulis oleh Nur Cahaya pada tahun 1590 M. Hanya penulis belum menemukan
data pasti mengenai mushaf cetak pertama di Nusantara.
Hingga pada 1890 M.
muncul mushaf dengan rasm Utsmani yang dicetak oleh percetakan Bahiyyah di
Kairo. Pemilik percetakan ini bernama Muhammad Abu Zaid. Khat mushaf ini
tercatat ditulis oleh Syaikh Ridwan bin Muhammad yang lebih dikenal dengan
al-Mikhallalâty. Versi ini sudah dilengkapi dengan tanda-tanda waqaf seperti ت،
ك، ح، ص، ج، م . Penulisannya sendiri merujuk pada kitab al-Muqni’ karya Syaikh
al-Dany dan al-Tanzîl karya Abu Dawud.
Karena cetakannya yang
dianggap masih kurang bagus, Grand Syaikh Al-Azhar membentuk tim yang terdiri
dari: Syaikh Muhammad Ali Khalaf al-Husainy, Syaikh Hifny Nashif, Syaikh
Musthafa ‘Anany dan Syaikh Ahmad al-Iskandary untuk memperbarui cetakan
al-Mikhallalâty. Syaikh Ali Khalaf al-Husainy dipercaya untuk menulis ulang
mushaf itu, dilengkapi dengan harakat berdasarkan riwayat Hafsh dari Imam
‘Ashim sebagaimana yang termaktub dalam kitab al-Tharrâz ‘alâ Dhabthi
al-Kharrâz karya al-Tanisy. Mushaf baru ini dicetak pertama kali pada tahun
1923 M, yang kemudian dipakai secara luas oleh umat Islam di Mesir dan
sekitarnya.
Tak berselang lama,
Grand Syaikh Al-Azhar kembali membentuk tim yang terdiri dari: Syaikh Abdul
Fattah al-Qadhy, Syaikh Ali al-Najjar, Syaikh Ali al-Dhabba’ dan Shaikh Abdul
Halim Bisyuni untuk mengoreksi kembali cetakan yang terakhir ini dengan merujuk
pada kitab-kitab ulumul qur’an, tafsir dan qira’at. Dan hasilnya dicetak untuk
kedua kalinya dengan tulisan yang lebih teliti dan perwajahan yang lebih
sempurna..
Baru pada bulan Muharam
1405 H (1984 M) dibukalah percetakan al-Qur’an terbesar di dunia yang berlokasi
di barat laut kota Madinah. Luasnya mencapai 250.000 m2. Percetakan ini mulai
beroperasi sebulan kemudian. Proyek prestisius dari Kerajaan Saudi Arabia ini
melayani permintaan mushaf dari seluruh penjuru dunia. Selain mencetak
al-Qur’an, mereka juga menggarap proyek penerjemahan al-Qur’an ke berbagai
bahasa –termasuk Indonesia, merekam
Begitu juga telah
dicetak mushaf menurut riwayat al-Dury dari Imam Abu ‘Amr Bashrah. Jenis
khatdan harakatnya hampir sama dengan mushaf riwayat Warasy, hanya saja ayatnya
berjumlah 6214 (versi Madinah awal) dengan 521 halaman. Di sana juga dicetak
mushaf riwayat Hafsh yang memakai metode penulisan dari Pakistan dan
sekitarnya.[41] Karakteristiknya hampir sama dengan mushaf yang disebutkan
pertama. Mushaf-mushaf ini ditulis oleh seorang kaligrafer ternama, Utsman
Thaha. Tulisannya telah digunakan secara luas oleh mayoritas percetakan
al-Qur’an di Timur Tengah.
Seluruh prosesnya
(mulai penulisan naskah hingga penjilidan) diawasi secara ketat oleh ulama ahli
tajwid, qira’at, tafsir, fikih dan bahasa di bawah pimpinan Syaikh Ali bin
Abdirrahman al-Hudzaify, imam Masjid Nabawi. Setiap anggota wajib memeriksa
naskah ayat per ayat, kalimat per kalimat, huruf per huruf hingga per
harakatnya. Kalau perlu, mereka menggunakan lup (kaca pembesar). Seluruh
kesalahan yang ditemukan harus dicatat dan disertai tanda tangan anggota dewan.
Kemudian catatan itu dibawa ke rapat dewan pengawas. Hasilnya kemudian
digunakan untuk mengecek sekali lagi naskah asli sebelum akhirnya angkat cetak.
Proses pengawasan tak
hanya sampai di situ. Setidaknya ada tiga tahapan supervisi sebelum mushaf
tersebut didistribusikan ke seluruh dunia: supervisi teks, supervisi bahan
pencetakan dan supervisi final. Supervisor teks bertugas memeriksa kesalahan
cetak, tertumpuknya huruf, pudarnya warna dan meralat teks yang keliru.
Sementara supervisor
bahan pencetakan bertugas memeriksa kualitas bahan-bahan yang digunakan, mulai
dari kertas, tinta, benang untuk menjilid beserta perekatnya, bahan cover
hingga memeriksa suhu dan kelembapan udara di ruang cetak. Sedangkan supervisi
final memainkan peranan terpenting: memeriksa hasil cetakan yang sudah jadi
100%, meralat yang memungkinkan diralat dan menyingkirkan yang tak mungkin
diperbaiki. Mushaf yang telah dicek diberi stempel khusus dari tim supervisor.
Semua itu dilakukan untuk menghasilkan mushaf al-Qur’an yang sempurna untuk
para pembaca.
Dalam setahun, jumlah
rata-rata penerbitan percetakan ini mencapai 10 juta eksemplar. Jika dalam kondisi
full power, mereka mampu mencetak 30 juta eksemplar dalam setahun. Jika ditotal
secara keseluruhan sejak berdirinya hingga tahun 1420 H (2000 M), percetakan
ini sudah mencetak 153.348.718 eksemplar mushaf! Jumlah tenaga kerjanya pada
tahun 2000 mencapai 1400 orang yang terdiri dari 70% warga Saudi dan 30%
non-Saudi.[2]
Comments
Post a Comment